Pelatihan Pasukan Muslim di Masa Perang Salib. Bag.01

Tentara Muslim

Pelatihan Pasukan Muslim di masa Perang Salib Standar kemampuan militer telah
merosot pada pertengahan abad ke-11 dan masa Perang Salib
merupakan masa tentara Muslim Timur Tengah berjuang keras untuk
mendapatkan kembali profesionalisme dan semangat tinggi
yang telah hilang. Meskipun demikian, jelas bahwa tradisi pelatihan kendali
medan tempur dan taktik - secara teoritis jika bukan secara praktik -
jauh lebih maju daripada tradisi yang ada di Eropa. Keahlian militer dasar faris dikenal
sebagai furusiyyah, konsep yang juga mengandung aspek
"keksatriaan" (keberanian semata-mata dikenal sebagai syuja'ah).
Pada abad ke-9, furusiyyah mencakup keahlian naik ke punggung kuda
tanpa bantuan sanggurdi, kemampuan menunggang kuda
secara umum, polo, memanah sasaran yang diam dan bergerak, dan
mungkin penggunaan senjata lainnya. Elite militer zaman Perang Salib juga
diharapkan untuk melatih kemampuan terus-menerus.Buku-
buku akhir abad ke-13 atau awal abad ke-14 mengenai furusiyyah
menuliskan kualitas yang diharapkan dimiliki seorang faris profesional:
kepatuhan terhadap perwira atasan;
kemampuan untuk membuat keputusan militer yang benar;
keteguhan dalam keadaan sulit; keahlian menunggang kuda; kegesitan dalam menyerang; memiliki
senjata dan baju zirah yang bermutu baik; dan kemampuan menggunakan
senjata. Ketika itu latihan furusiyyah mencerminkan kemauan elite militer
Muslim tradisional untuk belajar dari sumber manapun, beberapa latihan
berasal dari Khurasan di Iran bagian timur, lainnya berasal dari Byzantium,
dan beberapa berasal dari Pasukan Salib. Latihan furusiyyah antara lain
mencakup memanah; penggunaan tombak, pedang dan gada; gulat;
keahlian berparade; berburu; memanah dengan busur silang; polo;
dan balapan kuda. Banyak latihan yang dikenal sebagai "permainan" itu
lebih menyerupai Pedoman Pelatihan Kavaleri Departemen Perang Inggris
tahun 1907 daripada keahlian ksatria yang dipelajari di Eropa zaman
pertengahan. Seorang faris profesional juga dilatih untuk
bertempur dengan berjalan kaki. Kutipan dari satu buku pedoman
menunjukkan bahwa elite militer menyadari kavaleri dan infanteri sama
penting, tak seperti ksatria Eropa yang merendahkan infanteri: "Dalam
beberapa hal penunggang kuda lebih unggul daripada infanteri, dalam hal
lain infanteri lebih unggul, dan dalam hal lainnya lagi keduanya seimbang.
Tapi dalam hal kekuatan senjata, kecepatan, dan daya pukul, ketika
berpura-pura mundur atau dalam pengejaran, penunggang kuda lebih
unggul, asalkan tetap hati-hati dan waspada." Apabila sebagian besar kavaleri
Fatimiyah berperang dengan tombak dan pedang, gelombang pertama
penyerbu Turki Seljuk mengandalkan taktik pemanah berkuda dari Asia
Tengah yaitu memecah dan mengganggu. Dalam dua generasi, kavaleri profesional Seljuk, meskipun
tak mencakup petarung suku Turkoman, sebagian besar telah
kembali ke tradisisi pemanah berkuda Timur Tengah yang telah lama terbentuk, di mana sekelompok orang
memanah berbarengan sebagai satu kesatuan, seringkali ketika tak
bergerak. Sistem itu memerlukan cadangan kuda yang lebih sedikit dan
memungkinkan penggunaan zirah yang lebih berat. Pada abad ke-12
dan ke-13, bahkan di wilayah yang sangat didominasi Turki seperti
Azerbaijan dan Anatolia, elite kavaleri profesional mengandalkan tombak,
pedang, gada, dan lembing juga, tak hanya panah. Dunia Muslim punya tradisi teori militer
yang panjang dengan tulisan-tulisan yang sudah ada seja abad ke-8.
Sebagian besar yang ditulis sebelum abad ke-12 adalah bahan untuk
perwira senior dan memberi penjelasan menarik tentang prioritas
militer. Prajurit infanteri lebih diutamakan daripada kavaleri, dan
yang paling diutamakan adalah pemanah infanteri. Perlawanan
terhadap Pasukan Salib mendorong dibuatnya buku-buku teks militer
yang baru; beberapa murni teoritis, yang lainnya berhubungan dengan
jihad, administrasi tentara, strategi umum, pertimbangan taktik khusus,
kemampuan spesifik, atau mengenai peralatan militer. Beberapa tampaknya
ditujukan bagi perwira junior, tak hanya komandan; dan jelas sekali
bahwa kemampuan profesional yang tinggi dipadu dengan sikap sangat
hati-hati, menghindari korban yang tidak perlu, dan kesukaan untuk
melemahkan musuh tanpa harus mengadakan pertempuran besar
mempengaruhi pelatihan dan sikap prajurit biasa. Menurut sistem ideal yang dijabarkan
di Siyasat-Namah ("Kitab Politik" karya cendekiawan Persia Nizhan al-Mulk -
Peny.), butuh waktu delapan tahun untuk melatih seorang prajurit
mamluk. Meskipun pada kenyataanya mungkin waktu yang diperlukan,
kurang daripada itu, elite militer Muslim memang terlihat berumur lebih
tua dibandingkan elite militer Pasukan Salib yang pangkatnya setara. Jadwal
yang terdapat di dalam Siyasat-Namah menunjukkan pelatihan diawali tanpa
menggunakan kuda, kemudian menunggang kuda, diikuti dengan
memanah. Setelahnya seorang prajurit muda diperbolehkan menggunakan
perlengkapan "dengan hiasan". Sesudahnya lagi ia dipercaya untuk
memikul tugas yang lebih penting. Pelatihan di Mesir Fatimiyah,
setidaknya pelatihan kavaleri profesional elite, sangat mirip dengan
sistem furusiyyah Kesultanan Mamluk sesudahnya. Barak hujra Fatimiyah
juga menjadi pusat pelatihan, dan kemungkinan di barak tersebut
sebagaimana di barak Tarsus abad ke-10 yang tercatat lebih baik,
pensiunan prajurit mengawasi pelatihan prajurit muda. Kemampuan
kavaleri difokuskan kepada melawan pasukan berkuda dan infanteri, cara
menggunakan dan menghadapi berbagai macam senjata, menyerang
berbagai bagian musuh dan kuda, dan cara menipu musuh. Latihan
furusiyyah biasanya bertempat di suatu maydan atau lapangan untuk
berlatih yang juga digunakan sebagai wilayah perkemahan untuk garnisun
atau tentara dalam jumlah besar. Kota-kota yang lebih besar seperti Kairo,
Aleppo dan Damaskus punya setidaknya dua maydan. Gaya berkuda ala Arab lebih
menyerupai gaya berkuda ala Romawi jika dibandingkan dengan gaya
berkuda ala Turki Asia Tengah; gaya berkuda Arab mengutamakan
ketahanan jarak jauh. Kemampuan berkuda prajurit profesional mungkin
lebih baik daripada kemampuan para nomaden, dan "Aliran Berkuda Islam"
yang mencapai puncaknya di Mesir dan Andalusia pada abad ke-12 dan
ke-13 merupakan penggabungan metode Mediterania dan Persia. Dalam
gaya itu pengendara kuda menggunakan pelana dan "tempat
duduk" yang serupa dengan yang digunakan oleh penunggang kuda
modern. Gaya berkuda itu lebih nyaman untuk penunggang kuda dan
kudanya dibandingkan gaya berkuda di Eropa zaman pertengahan. buku-
buku tentang berkuda menunjukkan bahwa seorang penunggang kuda
muda pertama kali belajar cara menunggang kuda tanpa pelana
untuk memantapkan posisi duduk yang kuat, dan kemudian
diperbolehkan untuk menggunakan pelana dengan rangka kayu.
Sanggurdi dipasang lebih jauh ke depan dibandingkan dengan
kebiasaan di Eropa, dan meskipun prajurit menunggang kuda dalam
posisi duduk, bukan dalam posisi berkaki lurus, para ahli sejarah
beranggapan bahwa si penunggang kuda tersebut tidak menggunakan tali
sanggurdi yang pendek; prajurit kavaleri berkuda Timur Tengah
menunggang kuda dengan sanggurdi yang sejajar dengan pergelangan
kaminya kalau kakinya tak memijak sanggurdi. Kuda tampaknya telah
dilatih untuk menghindari serangan tombak, dan kuda pemanah dilatih
untuk bergerak dalam garis lurus, mengabaikan tekanan dari lutut
pengendara hingga kuda tersebut merasakan adanya tarikan tali
kekang. Tidak seperti elite ksatria Eropa, prajurit kavaleri Muslim profesional
diharapkan untuk menyiapkan senjata sendiri tanpa bantuan pelayan.
Pelatihan juga mencakup penggunaan dan perawatan perlengkapan militer, mengetahui
tempat penyimpanan peralatan di kemah agar dapat ditemukan
meskipun gelap, bagaimana cara memasang baju zirah pada malam hari
dan bagaimana cara melepaskan baju zirah meskipun sedang menunggang
kuda. Tentara Fatimiyah Mesir sangat memperhatikan posisi yang benar
dalam barisan, kedisiplinan, dan kemampuan skuadrom kavaleri untuk
melakukan manuver bersamaan. Dalam pedoman furusiyyah yang
muncul belakangan, beberapa manuver terlihat seperti latihan
berbaris di lapangan daripada latihan bertempur yang realistis. Mungkin
manuver-manuver itu dirancang untuk memperkuat kerja tim dan
meningkatkan kesatuan unit ketika berkendara dengan kecepatan yang
berbeda-beda dan berputar ke arah yang berbeda-beda. BUSUR Hanya sedikit latihan pasukan
melibatkan busur; pelatihan penggunaan busur sebagian besar
merupakan urusan individu. Tradisi pemanah berkuda Timur Tengah
didasarkan kepada "hujan panah" yang terkadang dilepas dalam
keadaan diam. Taktik itu lebih luwes dibandingkan taktik pemanah
berkuda Asia Tengah dan membutuhkan dukungan logistik
yang lebih sedikit. Pada abad ke-10, pemanah dilatih dengan menembak
boneka binatang dari jerami di gerobak empat roda yang dibiarkan
berjalan sendiri menuruni bukit atau ditarik oleh penunggang kuda.
Seorang pemanah abad ke-13 yang mahir dapat menembakkan lima anak
panah, yang digenggam dengan tangan kiri sambil memegang busur,
dalam waktu dua setengah detik. Lima anak panah selanjutnya diambil dari
kantung anak panah.